Sabtu, 07 Agustus 2010

leadership

1.Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan

Dalam bahasa Indonesia "pemimpin" sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah Memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara.

Istilah pemimpin, kemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang
sama "pimpin". Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda.

Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam sistem tertentu; karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan ketrampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang; oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang bukan "pemimpin".

Arti pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/ kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan - khususnya kecakapan-kelebihan di satu bidang , sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu beberapa tujuan. (Kartini Kartono, 1994 : 181).

Pemimpin adalah politisi dan diplomat: Seorang pemimpin harus mampu mengajak dan melakukan kompromi. Sebagai seorang diplomat, seorang pemimpin harus dapat mewakili tim atau organisasinya.

Pemimpin adalah tanggung jawab dan mempertanggungjawabkan (akontabilitas):
Seorang pemimpin bertanggungjawab untuk menyusun tugas menjalankan tugas,
mengadakan evaluasi, untuk mencapai outcome yang terbaik. Pemimpin bertanggung jawab untuk kesuksesan stafhya tanpa kegagalan.

Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar supaya mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Thoha, 1983:123).

Sedangkan menurut Robbins (2002:163) Kepemimpian adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan.

Sedangkan menurut Ngalim Purwanto (1991:26) Kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa.


Pemimpin jika dialihbahasakan ke bahasa Inggris menjadi "LEADER", yang mempunyai tugas untuk me-LEAD anggota disekitarnya. Sedangkan makna LEAD adalah :
o Loyality, seorang pemimpin harus mampu membagnkitkan loyalitas rekan kerjanya dan
memberikan loyalitasnya dalam kebaikan.
o Educate, seorang pemimpin mampu untuk mengedukasi rekan-rekannya dan mewariskan
tacit knowledge pada rekan-rekannya.
o Advice, memberikan saran dan nasehat dari permasalahan yang ada
o Discipline, memberikan keteladanan dalam berdisiplin dan menegakkan kedisiplinan
dalam setiap aktivitasnya.

2.Apakah leadership penting untuk dipelajari?

PENTING,karna jika kita tidak memiliki sifat kepemimpinan sejak dini,maka bagaiman kita menjadi pemimpin yang efektif?.kurangnya pengalaman akan berpengaruh pada hasil yang tidak efektif.

3.apakah dasr pemikiran leadership?

Dasar dari semua kepemimpinan adalah kepemilikan visi. Dan untuk melangkah dalam visi tersebut, sebuah komitmen amat dibutuhkan. Komitmen ini disebut misi. Namun ketika dalam pencapaiannya muncul masalah, dibuatlah serangkaian tindakan yang spesifik untuk menyelesaikan misi itu. Tindakan inilah yang disebut tujuan. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang tidak memiliki tujuan sama seperti sebuah kapal yang tak bernakhoda.

4.Tujuh keterampilan leadership

-mengenal diri

-komunikasi

-menyatu denagn yang lain

-proses belajar

-membuat keputusan

-mengatur

-kerja kelompok

5.keterampilan dalam tinjauan sejarah

Masalah Khilafah Masalah Khilafah dalam arti sistem pemerintahan dalam Islam memang cukup ruwet tetapi sangat penting. Sebagai fakta sejarah ia pernah membawa citra gemilang sekaligus menjadi biang keladi kemunduran Dunia Islam dalam berbagai aspek ajarannya. Kajian terhadap persoalan ini cukup penting sebagai bahan utk mencari alternatif modern mengenai teori politik dalam Islam sesuai dgn perkembangan zaman. Ada dua alasan lain tentang pentingnya kajian masalah Khilafah ini

dalam sejarah semua aliran politik Islam dan kaum orientalis banyak membahas masalah khilfah. Abu Zahroh meyatakan bahwa perbedaan pendapat sekitar khilafah menjadi penyebab utama munculnya beberapa aliran pemikiran politik bahkan pemikiran teologi.

kajian tentang khilafah menjadi ilmu pemikiran politik utk menelusuri konsep negara Islam yg bisa diterapkan dalam dunia modern.

Masalah pokok dan mendasar tentang khilafah yg dibahas oleh Ali Abd al-Raziq dalam bukunya tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan apakah sistem khilafah termasuk dasar pemerintahan dalam Islam? Menurutnya pernyataan bahwa mendirikan khilafah itu tidak wajib telah membawa konsekuensi mendasar tentang apa itu Islam. Apakah Islam itu agama saja atau agama dan dunia? Apakah dalam Islam ada pemisahan antara agama dan negara?

Baiklah kita mulai dgn petanyaan pertama di atas mengenai hukum mendirikan khilafah.Pendapa pertama yg dianut kebanyakan ulama menyatakan bahwa khilafah atau Imamah itu fardhu khifayah seperti hukum jihad atau mencari ilmu. Kalau demikian semua umat Islam berdosa jika ada sebagian dari mereka tidak mendirikan khilafah. Dalam sejarah pendapat ini dipegang oleh Ahlusunnah Mu’tazilah dan Khawarij. Sebagian kecil menghukumi tidak wajib atau jaiz. Argumentasi yg dikemukakan sebagian besar ulama yg menyepakati wajibnya khilafah itu bermacam-macam. Sebagian menggunkan dalil akal dan logika seperti pendapat Ibnu Kholdun tentang adanya ijmak Sahabat dan ijmak tabi’in bagi wajibnya khilafah. Ijmak versi Ibnu Kholdun ini didasarkan atas tinjauan sosiologis yaitu keharusan adanya kumpulan manusia dan ketidakmungkinan hidup menyendiri sehingga diperlukan al-hakim atau al-wazi; jika tidak demikian akan terjadi kekacauan sosial padahal memelihara eksistensi sosial termasuk di antara tujuan syara’ yg mutlak. Sebagian lagi berargumen dgn dalil Sayr’i baik baik dgn nash Al-Quran hadits maupun ijmak versi ahli Ushul al-fiqh. Golongan ketiga berargumentasi dgn dalil aqli dan syar’i secara bersama-sama. Pendapat kedua menyatakan bahwa khilafah bukan merupakan dasar pemerintahan dalam Islam. Dengan kata lain sebagai sistem pemerintahan khilafah termasuk persoalan yg diserahkan kepada kaum Muslimin. Sebagian kaum Mu’tazilah dan Khawarij Al-Najdat berpendapat bahwa pendirian khilafah tidak wajib; yg wajib adl terlaksananya hukum syari’ah. Pada awalabad ke-20 muncul seorang ulama Al-Azhar yg sependapat dgn kelompok yg beranggapan bahwa pendirian khilafah tidak diwajibkan oleh agama. Argumen yg dikemukakannya antara lain sebagai berikut

Ali Abd al-Raziq menolak dalil Ijmak sebagai hukum syara’ atau hujah agama baik ijmak sahabat ijmak sahabat bersama tabi’in maupun ijmak seluruh kaum muslimin. Ia membuktikannya dgn argumen historis -secara rasional- terhadap pembantaian Yazid. Menurutnya bagaimana ada ijmak yg sebenarnya krn saat itu ada intimidasi. “Siapa yg menolak baiat inilah bagiannya” kata protokol upacara sambil menunjuk pedangnya. Pendapat ini dibantah oleh Al-Rais. Menurutnya yg dimaksud dgn ijmak adl ijmak sahabat dan tabi’in. Al-Rais mengatakan bahwa nilai ijmak yg tertinggi dan terkuat dalam syari’ah Islam ialah ijmak sahabat. Selanjutnya Al-Rais menerangkan bahwa yg dimaksud ijmak menurut pemahaman ulama adl dalam kewajiban utk menegakan khilafah bukan dalam memilih orangnya . Dalam memilih orangnya itu cukup dgn suara mayoritas; hal itu terjadi berulang kali dalam sejarah. Kalau kita berbicara apakah dalil ijmak ini syar’i atau bukan sebenarnya cukup ruwet juga. Karena itu Mamduh Haqqi berkata “Sesungguhnya kalau mengikuti pertentangan mengenai masalah ijmak kita tidak akan berakhir kepada suatu batas?bahkan perkiraan kebanyakan orang tidak akan berakhir selamanya.”

Argumen yg selalu digunakan para ulama tentang wajibnya khilafah ialah bahwa tegaknya ajaran Islam semaraknya syiar agama dan baiknya umat Islam sangat bergantung adanya khilafah. Menurut Ali Abd al-Raziq alasan itu tidak cocok dgn kenyataan sejarah. Sejarah membuktikan bahwa kesemarakan syiar Allah dan berkembangnya agama tidak bergantung pada adanya khilafah. Ia menambahkan keterangan bahwa sejak abad ke-3 hijriah sistem khilafah sudah tidak utuh lagi sehingga kekuasaan khalifah terbatas sekitar Baghdad. Kemudian ia berkata “Kita tidak membutuhkan khilafah baik utk urusan agama kita maupun utk urusan dunia kita? krn sistem khilafah ini masih merupakan tragedi bagi Islam dan kaum Muslimin ?marilah kita yakini sekarang bahwa agama dan dunia kita tidak memerlukan khilafah fiqhiyyah.” Pernyataannya pada bagian akhir ini ada benarnya juga krn para fuqoha sering mengeluarkan hukum fiqh yg memberikan legalisasi perkembangan pranata khilafah dalam sejarah sejarah. Di samping itu dari pernyataannya nampak kecenderungan landasan berpikirnya yaitu sikap sekuler sebagaimana akan diuraikan berikut ini tentang hubungan Islam dan negara. Islam dan Negara Masalah negara dalam Islam atau masalah ajaran Islam dalam kehidupan bernegara merupakan masalah yg timbul sampai sekarang. Dengan ungkapan yg lbh umum sering dipertanyakan “Apakah Islam itu meliputi agama dan dunia ataukah agama saja?” Dalam hal ini pendirian Ali Abd al-Raziq cukup jelas “Risalah la hukm wa din la daulah”. Adapun utk menjawab pertanyaan di atas ada dua pendapat. Pendapat pertama tidak ada pemisahan antara Islam dan negara. Argumen pendapat ini sebagai berikut

Islam mengajarkan kesatuan antara masalah dunia dan akhirat. Pendapat ini menyatakan bahwa mempersatukan maslahat dunia dan akhirat merupakan dasar di antara dasar-dasar Islam. Dengan kata lain tidak ada pemisahan antara antara Islam dan dunia. Banyak ayat Al-quran dan Hadits yg menunjukan bahwa Islam tidak menganut sekularisme. Abd Hamid Mutawalli ketika mendiskusikan gagasan Ali Abd al-Raziq mengemukakan ayat Al-Quran “Wa la tansa nasibaka min al-dunya” . Adapun hadits yg dikemukakan ialah sabda Rasulullah saw kepada Sa’ad ibn Abi Waqqas yg waktu itu sedang sakit. Ketika Sa’ad meminta nasihat Rasul tentang niatnya utk menyedekahkan dua pertiga dari hartanya Nabi saw menjawab “Sepertiga dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya meninggalkan ahli waritsmu dalam keadaan kaya adl lbh baik daripada membiarkan mereka fakir dan meminta-minta kepada orang lain. Mutawalli menambahkan argumen Muhammad ‘Abduh “Pergi salat Jum’at hukumnya wajib kecuali jika tanah terlalu becek dan hujan lebat sehingga menyebabkan kesusahan ; maka hukum wajib itu jatuh karenanya. Oleh krn itu kita dapati kaidah umum “Kesehatan badan diberi prioritas daripada kesehatan agama.” . Tentu tidak sedikit ayat Al-Quran dan Hadits yg menunjukan bahwa di samping agama Islam juga adl negara -sebagaimana dikutip oleh Mutawalli. Namun saya tidak bermaksud membahas ayat-ayat dan Hadits tetapi hendak menunjukkan dalil naqli yg dipergunakan.

Untuk menopang pendapat pertama ini di samping dalil naqli para ulama dan cendekiawan selalu mengemukakan dalil ‘aqli yg sebenarnya ditarik dari dalil naqli juga. Ajaran Islam mengandung prinsip-prinsip umum misalnya musawarah persamaan kebebasan dan keadilan. Semua prinsip tersebut menyangkut masarakat dan negara. Karena itu ajaran Islam tidak dapat dipisahkan dari masarakat dan negara. Namun penggunaan dalil ‘aqli terhadap Ali Abd al-Raziq menghadapi jalan buntu krn ia mengingkari penggunaan akal Haqqi mengkritiknya. Menurutnya Ali telah membuat kesalahan berpegang teguh kepada pengertian khilafah dalam arti sempit dalam pasal pertama sebagaimana ia telah mandek dalam pengertian ijmak sehingga mengingkarinya; dan mengingkari penggunaan akal dalam memecahkan masalah ketika ia dapati orang-orang terdahuulu berselisih paham tentang wajibnya pengangkatan khalifah baik dari segi akal maupun syar’i.

Alasan lain yg diajukannya adl pandangan kaum orientalis seperti Thomas Arnold dan S. Strothman Gibb yg menyatakan bahwa selain masalah ibadah Islam juga mengurus soal masarakat dan negara bahwa Nabi bukan bukan hanya pemimpin agama tetapi juga kepala negara. Begitulah seperti yg dicatat oleh Mutawalli. Ali Abd al-Raziq sendiri mengakui bahwa Muhammad bukan saja Rasul melainkan juga kepala negara. Akan tetapi pengakuannya itu dibatalkan oleh pendapatnya ketika ia berkata “Itulah kepemimpinan dakwah kepada Allah. Tidak seperti kepemimpinan raja kepemimpinannya adl kepemimpinan risalah dan agama. Kekuasaan Nabi bukan kekuasaan kerajaan dan sultan. Pada prinsipnya pernyataan Ali Abd al-Raziq tidak menolak bahwa Nabi itu adl pemuka kelompok masarakat di Madinah mungkin yg ditolaknya sifat kekuasaan mutlak para raja dan para sultan yg ternyata pada waktu itu bersifat mutlak dan zalim.